TANGERANG SELATAN, Sidik-Berita.Com- 16 April 2025 – Seorang pemuda Tigaraksa bernama Rezi hari ini resmi melaporkan dugaan tindak pidana ke Polres Tangerang Selatan. Rezi didampingi anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten dalam laporan yang menyeret nama PT. Bintang Sinergi Nusantara (BSN), sebuah perusahaan agen penagihan yang beroperasi di Kelapa Dua, Tangerang. Laporan ini menyeret sejumlah dugaan mulai dari intimidasi, perampasan, hingga pemalsuan dokumen.
Peristiwa bermula pada tanggal 4 April 2025, ketika Rezi diadang oleh empat orang pria yang mengaku sebagai agen penagihan PT. BSN. Dengan dalih menunggak cicilan, Rezi dipaksa menuju kantor cabang Kelapa Dua dan di sana mendapat tekanan verbal, ancaman pemukulan, hingga dipaksa menyerahkan kunci motor. Uang Rp1,2 juta sebagai biaya tarik pun diminta secara sepihak, tanpa bukti penarikan resmi berupa Berita Acara Serah Terima Kendaraan (BASTK).
Anehnya, dua hari berselang, ketika Ketua DPD YLPK PERARI Rizal mengunjungi kantor PT. BSN untuk mediasi, unit kendaraan Rezi sudah tidak lagi berada di tempat. Padahal, dokumen resmi penarikan belum pernah ditandatangani oleh Rezi. Bahkan, beredar informasi lewat percakapan WhatsApp bahwa motor telah dipindahkan ke gudang milik FIF Cikupa menimbulkan pertanyaan besar soal prosedur dan legalitas serah terima tersebut.
Lebih janggal lagi, tiba-tiba beredar sebuah dokumen BASTK yang mencantumkan tanda tangan Rezi. Rezi mengaku tidak pernah merasa menandatangani surat tersebut. Jika terbukti benar, maka ini mengarah pada dugaan pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP, yang ancamannya mencapai enam tahun penjara.
PT. BSN sendiri disebut telah melakukan penarikan paksa serupa kepada setidaknya empat warga lainnya dalam dua bulan terakhir. Modusnya sama: pengeroyokan ala preman, tanpa surat tugas sah, dan pemaksaan penyerahan kendaraan. Tindakan seperti ini, jika benar terjadi, jelas bertentangan dengan tugas pokok agen penagihan menurut KBLI 82911 dan melanggar prinsip perlindungan konsumen.
Ketua DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, Rizal, menyampaikan kecaman keras terhadap praktik yang disebutnya sebagai premanisme berjubah legalitas. “Kami dari YLPK PERARI mengecam keras tindakan PT. BSN yang melakukan penarikan paksa tanpa dasar hukum, tanpa dokumen sah, dan dengan cara-cara yang tidak beradab. Kalau benar ada pemalsuan tanda tangan dalam dokumen BASTK, itu sudah masuk kejahatan serius! Itu bukan kerja debt collector, itu kerja mafia!” tegas Rizal.
Rizal juga menuntut pihak kepolisian untuk tidak mentolerir modus-modus penagihan yang menggunakan kekerasan dan intimidasi. Ia menyebut tindakan ini sebagai bentuk perampokan terorganisir yang mencederai rasa keadilan publik. “Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan kepada hukum hanya karena aparat takut berhadapan dengan baju korporasi. PT. BSN harus diperiksa tuntas, pelaku lapangan harus ditangkap, dan dugaan pemalsuan dokumen harus diproses pidana!”
Ia menambahkan, jika dugaan keterlibatan leasing seperti FIF benar terjadi dalam memfasilitasi penarikan unit tanpa prosedur, maka pihak OJK juga harus turun tangan. “Kalau benar motor Rezi sudah dioper ke FIF tanpa BASTK, berarti ini ada konspirasi. OJK jangan cuma jadi penonton, lakukan investigasi! Jangan ada lagi korban yang diperlakukan seperti binatang di negeri hukum ini.”
Dugaan keterlibatan antara PT. BSN dan FIF Cikupa dalam pelegalan penarikan unit tanpa prosedur patut diselidiki. Jika penyerahan unit tanpa BASTK tetap diproses dan difasilitasi, maka bisa dicurigai adanya ‘fee tarik paksa’ yang menguntungkan sepihak dan merugikan konsumen. Sudah saatnya OJK menjalankan tugas pengawasan dengan sungguh-sungguh dan bukan hanya menjadi lembaga simbolik.
Keempat pelaku penarikan juga layak diperiksa secara hukum. Mereka tidak mampu menunjukkan identitas resmi maupun SK penarikan, yang berarti mereka hanyalah preman yang didandani baju korporat. Premanisme berkedok legalitas inilah yang harus diberantas dari akarnya.
Negara hukum tidak boleh tunduk pada hukum rimba. Jalanan bukan milik korporasi untuk mengintimidasi warga sipil dengan kekerasan. Ini bukan semata perkara utang, tapi pelanggaran hak sipil yang bisa berujung pada trauma bahkan kriminalisasi korban.
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019, Rizal menegaskan bahwa setiap bentuk penarikan kendaraan harus melalui proses pengadilan jika ada penolakan dari konsumen. “Penarikan di jalan tanpa putusan pengadilan itu namanya kriminal, bukan eksekusi! Negara ini punya hukum, bukan hukum rimba. Kami akan kawal kasus ini sampai PT. BSN ditutup kalau perlu,” tutup Rizal dengan nada tinggi.
Jangan sampai ada lagi korban seperti Rezi yang harus kehilangan kendaraannya tanpa prosedur, tanpa bukti sah, dan tanpa perlindungan hukum. Jika aparat penegak hukum terus abai, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap keadilan dan hukum yang katanya berdiri untuk semua.
Kami, media dan masyarakat, akan terus mengawal kasus ini. Aparat harus menyelidiki dugaan pemerasan (Pasal 368 KUHP), perampasan (Pasal 365 KUHP), pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP), hingga pelanggaran UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE. Jika dibiarkan, maka negara ini sedang mengamini tindak pidana berjubah korporasi.***(T-Sel)