Entertainment

Ketika Rhoma Irama Marah Besar

150
×

Ketika Rhoma Irama Marah Besar

Sebarkan artikel ini

 


JAKARTA | sidikberita.com –
Siapa sih tak kenal Rhoma Irama. Sudah puluhan tahun ia menggoyang nusantara dengan Soneta Grup. Saya salah satu fans. Kali ini saya mau menulis ekspresi kemarahan Bang Haji dalam sebuah adegan film lawasnya.

Bang Haji Rhoma, sang raja dangdut, meledak! Tidak tanggung-tanggung, amarahnya meletus seperti gunung berapi yang sudah lama terpendam. Studio rekaman, tempat biasanya melodi-melodi mengalun syahdu, kini berubah menjadi arena perang. Pintu studio terbuka dengan hentakan keras. Suara dentangnya saja cukup untuk membuat jantung Santi, penyanyi cewek cantik berambut pendek itu, melompat-lompat seperti ingin kabur dari sangkar rusaknya.

“Allah… Santi… kemana suaramu?!” Suara Rhoma menggema, menampar udara studio seperti petir menyambar pohon di musim kering.

Santi kaget. Tangannya yang memegang headphone tiba-tiba bergetar. Kakinya bagai tertancap ke lantai. Napasnya terhenti.

“Sudah hampir tiga jam belum satu lagu pun yang bisa kau rekam. Kamu kenapa sih? Hah… lagi jatuh cinta, apa?!” lanjut Rhoma, suaranya merobek-robek suasana yang sudah tegang itu. Matanya menyala-nyala, menusuk Santi seperti belati beracun yang tidak mengenal ampun.

Santi mulai panik. Pipinya memerah, tapi bukan karena malu. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Ia mencoba menjawab, tapi bibirnya terkunci rapat seperti pintu yang kehilangan kuncinya.

Tapi Bang Haji tidak peduli. Ia mendekat, mengacungkan jarinya, seperti hakim yang siap menjatuhkan hukuman mati. “Kalau memang begitu, mestinya gampang dong!” serunya dengan nada menyindir yang memotong udara seperti pedang samurai. “Ini kan lagu menceritakan orang menderita karena kekasihnya. Jadi, merana dia, gila dia, tersiksa dia, tahu?”

Santi semakin tenggelam dalam kekalutan. Napasnya memburu, seperti seekor kelinci yang terpojok oleh serigala lapar. Tapi Rhoma tidak berhenti. Ia seperti badai yang tak kenal reda, seperti tsunami yang datang lagi dan lagi.

“Nah, sekarang kamu harus menyanyi dengan perasaan-perasaan seperti itu!” bentaknya. Suaranya semakin meninggi, menghancurkan harapan kecil Santi yang tersisa. “Dari tadi nggak ngerti-ngerti. Tolol amat sih!”

Kata-kata itu adalah puncak. Pisau terakhir yang menusuk Santi sampai ke dalam jiwa. Hatinya sudah remuk. Ia tidak tahan lagi. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan headphone dari kepalanya, seperti membuang beban dunia. Headphone itu terlempar ke lantai dengan dentuman yang menggema.

Santi berlari. Kakinya seperti dibakar oleh lava amarah. Ia meraih tasnya, dan tanpa menoleh ke belakang, keluar dari studio.

Di luar, kegelapan malam menyambutnya. Tapi Santi tidak peduli. Ia berteriak sekuat tenaga, “IWAN….!” Suaranya menggema, seperti jeritan seekor burung yang terjebak dalam sarang berduri.

Di sudut ruangan, seorang gitaris yang tertidur terbangun. Iwan, dengan wajah kaget dan bingung, mencoba mencari asal suara. Tapi Santi sudah menghilang dalam bayang-bayang malam, membawa serpihan hati yang tak akan pernah utuh lagi.

Adegan itu selesai, tapi kemarahan Rhoma bergema. Sebuah pelajaran tentang seni, tentang emosi, dan tentang bagaimana tekanan bisa menghancurkan jiwa yang rapuh. Bang Haji Rhoma, sang maestro, adalah badai yang tak bisa dihentikan. (Red/Tsel)