SERANG | sidikberita.com – Raden Adjeng Kartini selama ini dikenal luas sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Pemikirannya tentang pendidikan dan kesetaraan perempuan telah menginspirasi banyak generasi. Namun, ada satu sisi sejarah Kartini yang jarang diangkat ke permukaan: ia menjalani kehidupan rumah tangga dalam bingkai poligami.
Kartini merupakan istri keempat dari Bupati Rembang, Raden Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Fakta ini bukan untuk mengaburkan perjuangannya, melainkan untuk memperlihatkan bagaimana tokoh sebesar Kartini mampu menghadapi situasi dengan jiwa besar dan visi yang tetap menyala.
Antara Idealisme dan Taat kepada Orang Tua
Dalam surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda, Kartini pernah melayangkan kritik terhadap praktik poligami yang ia nilai kerap menyakitkan bagi perempuan. Namun, ketika sang ayah meminta dirinya untuk menikah dengan seorang pria beristri, Kartini memilih menerima. Keputusan itu bukan hasil dari ketundukan semata, melainkan lahir dari cinta dan hormat kepada orang tua serta pandangan yang lebih luas tentang perjuangannya.
Satu syarat diajukan Kartini kepada calon suaminya: ia ingin tetap mendirikan sekolah untuk perempuan. Permintaan itu disanggupi, dan pernikahan pun dilanjutkan. Bagi Kartini, ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan kelanjutannya dalam bentuk yang baru.
Melihat Poligami dari Perspektif yang Berbeda
Kisah Kartini menunjukkan bahwa poligami tidak selalu identik dengan penindasan. Dalam situasi dan niat yang tepat, praktik ini bisa menjadi jalan untuk membangun peradaban yang lebih adil dan seimbang. Poligami, menurut sebagian pandangan, bukan sekadar tradisi budaya, melainkan bagian dari syariat Islam yang menekankan keadilan, tanggung jawab, dan kematangan spiritual.
Di masa kini, upaya untuk menjalani poligami secara bijak terus digalakkan, salah satunya melalui program Private Mentoring Poligami (PMP) yang digagas oleh Coach Hafidin. Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun berumah tangga dengan empat istri dan 26 anak, ia menghadirkan pendekatan yang mengedepankan pembinaan ruhiyah, ilmu, dan adab.
Pendidikan dan Kepemimpinan sebagai Kunci
Program PMP bertujuan mendidik para suami untuk memandang poligami bukan sebagai sarana memuaskan ego, melainkan sebagai amanah besar dalam membina keluarga. Kunci dari keberhasilan bukan terletak pada strategi menyembunyikan atau berkelit, melainkan pada integritas, kepemimpinan, dan keadilan dalam memimpin rumah tangga yang harmonis.
Inspirasi dari Sejarah
Jika Kartini — seorang pemikir besar yang sangat memperjuangkan hak-hak perempuan — mampu menerima realitas poligami dengan syarat yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan kemanusiaan, maka pandangan terhadap poligami hari ini pun kiranya dapat ditinjau dengan lebih bijak dan komprehensif.
Poligami tidak serta-merta menjadi simbol masa lalu yang kelam, melainkan bisa menjadi sarana menuju kematangan spiritual dan kepemimpinan sosial — selama dijalankan dengan niat yang lurus dan komitmen yang tinggi.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai program PMP, masyarakat dapat mengakses laman resmi di www.coachhafidin.com. (CziYk)